Ironi

Adalah sebuah Ironi.

Selama delapan tahun aku tinggal di kota Bandar Lampung, dan selama itulah tak ada perubahan berarti yang tampak di kota ini.

Hanya ada pertambahan pusat belanja, perluasan lahan parkir, pertambahan jumlah kendaraan bermotor, dan adanya taman kota (yg entah mengapa sampai sekarang yang kulihat masih berupa lapangan tanpa pohon, sama seperti dulu).

Di lain hari ku mendengar kalo Provinsi tempatku bernaung, mendapat penghargaan karena meningkatnya produksi pangan. Tapi patutkah aku senang, apabila dalam kenyataannya propinsi ini masih di urutan kedua propinsi miskin di pulau Sumatera. Di mana kesenjangan ekoomi terlihat jelas. Adanya bangunan kumuh di tengah kota, di saat sebagian besar penduduk berlomba menunjukkan integritas kekayaan dan tingkat konsumsinya. Seolah lupa bahwa di sekitarnya masih ada orang2 yang tinggal di rumah geribik dengan kemampuan terbatas di tingkat konsumsi.

Adalah sebuah ironi.

Saat ku sadari betapa besar potensi gerbang Sumatera ini. Tapi ketika aku memasukinya di malam hari, yang tampak hanya kelam. Seolah kota ini mati, tak punya sumber daya energi. Patut aku bertanya, apakah pemimpin kota ini buta? Tak dapat melihat kegelapan disekelilingnya. Ataukah karena gelap itu sudah membutakan mata.

Adalah sebuah ironi.

Saat banjir melanda, sang pemimpin hanya bisa berkata “Sudah saya ingatkan agar warga membuang sampah dan menjaga lingkungannya!”. Apakah itu cukup? Disaat kenyataan yang ada, bahkan sarana kotak sampah pun tak tampak di sepanjang jalan kota.

Adalah sebuah ironi.

Saat kita mengaharapkan para tunas bangsa untuk bisa menggali lebih banyak lagi ilmu. Tapi yang tampak, sarana pendidikan bahkan kurang diperhatikan. Disaat pemimpin kota ini memiliki latar belakang sebagai seorang guru.

Adalah sebuah ironi.

Saat kita sadari rumah sakit adalah tempat yang seharusnya terlihat steril, rapi dan bersih. Tapi mengapa yang aku lihat sebuah bangunan kumuh tak terawat?

Adalah sebuah ironi.

Saat para pemimpin banyak melakukan perjalanan studi banding nun jauh menuju negara-negara maju di dunia. Tapi mengapa saat kembali, tak ada praktik yang dilakukan?

Adalah sebuah ironi.

Saat para anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Lupa mewakilkan rakyatnya? Apakah kursi DPRD itu harus membuat kita lupa menyampaikan aspirasi rakyat? Ataukah seorang anggota DPRD itu bukan rakyat?

Adalah sebuah ironi.

Saat kita ketahui gerbang Sumatera ini merupakan propinsi termiskin di Sumatera. Tapi mengapa para aparat daerah ini, masih bisa hidup enak?

Adalah sebuah Ironi.

Begitu banyak potensi daerah ini. Tapi mengapa, seolah tak ada yang bisa kita lakukan.

Adalah sebuah ironi.

Saat agama mengajarkan kita untuk berbuat kebaikan. Tetapi mengapa di saat praktiknya, azas “sedikit melakukan dosa, tidak apa-apa” masih berlaku.

Adalah sebuah ironi.

Saat kita hanya bisa bicara, tanpa aksi yang berarti. Hanya bisa mencemooh lupa menatap diri. Apakah begitu besar rasa sombong diri?

Apakah akan terus begini kotaku? Tertinggal selalu.

Ya semua hanya Ironi. Begitu banyak ironi, selah mengiris hati.

Komentar

Postingan Populer