Jilbabku

Jemariku menekuri barisan jilbab di dalam lemari pakaianku. Aneka warnanya, berbanjar rapih untuk memudahkanku memilihnya. Sejenak aku bertafakur, tak terasa sudah satu setengah tahun lewat diriku mengenakan jilbab. Mulai dari pinjam jilbab ibuku sampai kini aku memiliki koleksi jilbabku sendiri.

Jilbab, kalau mundur kembali ke awal era tahun 90an, alangkah jarang populasi wanita muslim yang mengenakan jilbab. Tak seperti sekarang, jilbab seolah sudah menjadi salah satu komoditi utama pakaian wanita di Indonesia. Banyak wanita, memilih memakai jilbab karena kepraktisannya, (tinggal pakai jilbab, tak perlu repot menata rambut). Pasar pun seolah menyediakan segala kepraktisannya, makin maju jaman, makin banyak aneka jilbab-jilbab praktis yang dijual.

Aku teringat isu-isu seputar jilbab semasa aku kecil dulu. Katanya wanita yang pakai jilbab, tak punya daun telinga atau rambutnya botak. Bahkan isu seputar penyematan jarum pentul, saat itu teman kecilku berkata kalau ada wanita berjilbab yang meninggal karena tak sengaja tertusuk jarum pentul di kepalanya. Ada-ada saja.

Ibuku sendiri, sudah mengenakan jilbab sedari tahun 1991, semenjak ia menempuh pendidikan D1 kebidanan di Sekolah Kebidanan Muhammadiyah Palembang. Sering aku mengenakan jilbab, setiap ada acara besar Islam di Mesjid dekat rumahku maupun di Sekolah Dasar Muhammadiyahku dulu. Ya, aku sudah tak asing dengan jilbab, tapi rasa akrab itu belum cukup untuk menggerakanku untuk mengenakannya.

Seandainya hari itu Allah tidak memantapkan hatiku untuk memakainya, mungkin sekarang tak ada bagian khusus jilbab di lemariku. Mungkin tampilanku masih seperti kebanyakan wanita modis sekarang. Mungkin tak bertambah ilmuku dan nikmat yang kurasa.

Sesungguhnya, aku tahu sedari dulu. Bahwa menjaga kehormatan adalah wajib hukumnya khususnya bagi wanita dalam Islam. Sedari dulu, saat aku masih duduk di bangku SMP terbersit niatku ingin mengenakan jilbab. Tapi tampaknya Allah masih belum menggerakan hatiku, hanya sesekali ada rasa ingin, tapi rasa itu tak cukup kuat untuk meneguhkan niatku.

Aku terlalu banyak yang menimbang-nimbang untuk memakai jilbab (padahal kalau dipikir sekarang, mau melakukan kebaikan kok ditimbang-timbang). Yang menjadi hambatan utamaku, adalah kurangnya integritas (ataukah hanya karena masih kurangnya imanku?). Aku belum cukup berani berkomitmen dengan Islamku. Terlalu banyak aturan, pikirku saat itu (ya Allah, ampuni hambamu ini).

Memakai jilbab bagiku, merupakan salah satu bentuk komitmen nyata antara aku dan Allah. Tak ingin aku sembarangan dalam memutuskan, aku takut hari ini memakai besok lusa saat aku sungkan jilbab itu kulepas (seperti banyak dilakukan muslimah lainnya).

Ibuku bahkan sering berkata “Yang benar mau pakai Jilbab? Ntar dilepas. Pikir-pikir dulu”. Ia menyatakannya setiap aku mengatakan niatanku untuk berhijab. Aku mahfum bahwa ibuku hanya khawatir aku main-main dalam mengambil keputusan. Sekedar mengingatkanku, agar mantap dalam melangkah.

Ya, seorang muslimah berjilbab harus benar-benar sadar akan identitas keislaman yang sudah ia pilih. Tak patut baginya dengan jilbab yang dikenakan, apabila menunjukan tindak-tanduk yang tak sesuai dengan defenisi jilbab itu sendiri.

Dengan jilbab berarti kita sudah berani menyatakan identitas sebagai wanita muslim (dan ini tak kusadari dulu). Oleh karenanya patut menjaga sebaik-baiknya tingkah laku (bukan berarti tak memakai jilbab, tidak menjaga tingkah laku). Agar tak menjadi fitnah bagi agama dan saudara-saudari seimanku.

Kini, ada rasa syukur sekaligus sesal dalam diriku. Syukur karena aku sudah menetapkan hati mamakai jilbab. Syukur, karena keputusanku itu memacuku untuk memperbaiki akhlak, taqwa dan pengetahuan agamaku. Syukur, karena dengan jilbab ini, kurasa semakin banyak nikmat yang Allah berikan dalam hidupku.

Sesalku, kenapa dulu aku tak lebih cepat mengambil keputusan ini.

Komentar

Postingan Populer